Jumat, 15 Oktober 2010

Pedagang Kaki Lima, antara Ada dan Tiada

Sulaiman merupakan PKL yang berjualan di samping Wisma Mandiri. Di atas trotoar jalan yang menghubungkan Jalan Sabang dengan Jalan MH Th amrin itu, tiap hari ia menjajakan casing dan sarung ponsel.

Ia mengatakan sebelum berdagang di samping Wisma Mandiri setahun lalu, dirinya kerap mengalami penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Namun kini, lokasi itu sudah resmi diakui pemerintah kota Jakarta Pusat sebagai lokasi berdagang PKL.

“Kalau ada penertiban, saya harus tutup dulu. Besok sudah bisa jualan lagi. Dulu di sini, pedagang bikin tenda sendiri, tapi tidak teratur. Beda dengan sekarang, pakai awning (kanopi) dan lebih bersih,”ujarnya.

Tiap bulan ia harus membayar 250 ribu rupiah ke pihak pengelola. Menurutnya, besaran retribusi itu tidak masalah, asal dirinya mendapat jaminan berdagang di situ dengan tanpa rasa khawatir digusur.

Pengamat UMKM (usaha menengah, kecil dan mikro), Rusman Hakim, mengatakan pedagang kaki lima termasuk kategori usaha mikro. Menurutnya, ada dua kategori UMKM, yaitu usaha menengah dan kecil serta usaha mikro.

PKL termasuk yang mikro karena dari sisi permodalan, jumlahnya kecil dan masuk strata paling bawah. Besaran modalnya, dikatakan Rusman, di bawah dua juta rupiah untuk ukuran saat ini.

“Karena nilai rupiah kan berubah-ubah, tiap tahun mengalami inflasi. Sebenarnya tidak ada batasan besaran modalnya, tapi saat ini kira-kira besarnya segitu,” ujarnya.

Rusman menuturkan usaha PKL, seperti usaha UMKM lainnya, adalah jenis usaha yang tahan terhadap krisis eknomi. Seperti yang dibuktikan pada krisis ekonomi 1997 lalu, mereka tetap eksis.

Hal itu, jelasnya, disebabkan PKL jarang yang berutang ke bank, tidak seperti perusahaan besar. Kalaupun berutang, ujarnya, jumlahnya tidak besar sehingga masih bisa membayar karena mereka disiplin membayar utang tepat waktu.

Rusman menyatakan PKL membutuhkan permodalan untuk mengembangkan usahanya. Banyak dari mereka yang penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan tidak ada yang disisihkan untuk modal pengembangan usaha.

Namun, selain permodalan, mereka perlu disediakan tempat yang khusus, baik dari pemerintah maupun pihak swasta.

Sikap Tegas

Menurut pengamat tata kota, Nirwono Joga, selama ini keberadaan PKL tidak diakui. “Keberadaan mereka antara ada dan tiada. Tiada karena mereka tidak memunyai tempat khusus, sedangkan kenyataannya mereka ada di pedestrian,” tuturnya.

Tiadanya alokasi ruang dari RTRW (rancangan tata ruang wilayah) bagi pedagang informal seperti PKL, jelasnya, menyebabkan mereka kesulitan menemukan tempat usaha yang aman dan nyaman.

Yang perlu adalah, pertama, perlu dipertegas di mana PKL boleh berdagang. Selama ini, jelasnya, PKL berada di mana-mana, terutama memenuhi jalur pedestrian seolah-olah dibebaskan.

Joga menyarankan agar pengelola gedung-gedung perkantoran dan pusat belanja menyediakan tempat di dalam halaman perkantoran bagi PKL sehingga karyawan kantor tidak perlu keluar untuk mencari makan.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Wiryatmoko mengatakan saat ini pihaknya sedang menyusun rencana tata ruang wilayah 2010- 2030. Dalam RTRW itu, ruang untuk PKL diakomodasi.

Mengenai lokasi PKL akan ditempatkan, ia belum memiliki rencana. “Sedang dibahas sekarang ini, dan direncanakan yang pas buat mereka,” jelasnya. Ia mengatakan pada prinsipnya di tiap wilayah harus ada sentra-sentra PKL.

Tiap wilayah harus mengalokasikan ruang untuk sektor informal seperti PKL ini. “Sesuai dengan Undang-Undang No 26 Tahun 2007, sektor informal harus masuk rencana tata ruang wilayah,” jelas Wiryatmoko.

Sebelum ada undang-undang ini, lanjutnya, keberadaan PKL diakomodasi Perda No 8 Tahun 2002. Dalam perda itu, PKL memiliki tempat di pasar-pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern.

Dalam perda itu, disebutkan kewajiban pengelola mal untuk menyediakan 20 persen lahannya bagi PKL. Asisten Manager Divisi Humas PD Pasar Jaya Nur Havidz mengatakan pihaknya memiliki program memindahkan PKL yang berdagang di luar ke dalam pasar.

Pihaknya bahkan menawarkan pogram enam bulan gratis tidak dipungut iuran. Namun, hal itu tidak berlaku untuk pasar yang baru saja direnovasi karena alasan untuk mengembalikan biaya pembangunan yang besar.

Nur Havidz menjelaskan program yang mulai dijalankan sejak tahun lalu itu hanya efektif dalam jangka pendek. Kenyataannya, sering kali pedagang itu kembali berdagang di luar setelah enam bulan menempati karena harus membayar.

Ia berharap pedagang kaki lima lainnya mau mencoba berjualan di dalam pasar, bukan untuk menyaingi pedagang di dalam pasar. Nur menambahkan, di DKI Jakarta terdapat 151 pasar, dan ada beberapa pasar yang ditinggalkan konsumennya karena di sekitarnya banyak pedagang kaki lima.

“Ada pula yang pindah selama enam bulan, namun ia tetap dagang di luar karena ia punya dua lapak, di dalam dan di luar. Sudah karakter pedagang yang ingin menyongsong pembeli di luar,” ucapnya.

Tarif Mahal

Namun, hal itu dibantah oleh Hoiza Siregar. Menurut Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima DKI Jakarta itu, pihak PD Pasar Jaya menerapkan tarif yang terlalu mahal bagi pedagang.

Untuk pasar yang baru selesai direhab total, pedagang yang akan menempati dikenai biaya di luar jangkauan pedagang. Ia mencontohkan di Pasar Muara Angke, PKL dikenai biaya 40 ribu per hari atau 1,2 juta per bulan.

“Padahal saya tiap harinya hanya dapat untung 35 ribu rupiah. Lalu kalau saya bayar segitu, saya makan dari mana?” ungkapnya. Untuk lokasi resmi pedagang kaki lima, Hoiza menuturkan, terjadi diskriminasi sehingga pedagang yang dekat dengan pengelola yang berhak menempati.

“Pedagang lama dikasih tempat yang sepi, paling belakang, di tempat yang jauh dari pembeli, malah dekat kuburan. Kalau sudah ada tempat seperti itu, baru kita dipaksa menempati lokasi itu.

Tentu kami tidak mau,” ujarnya kesal. Data dari Dinas Koperasi, UMKM dan Perdagangan DKI Jakarta, saat ini, terdapat 226 titik penampungan PKL di seluruh Jakarta.

Pedagang yang ditampung di titik-titik penampungan itu merupakan pedagang yang dibina Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan.
wan/L-1 


http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=57613

Tidak ada komentar:

Posting Komentar