OLEH: AGUS AFFIANTO [1]
a. Penentuan proporsi bagi hasil secara intuitif; dan
b. Penentuan proporsi bagi hasil berdasarkan nilai peran masing-masing pihak.
Bentuk penentuan proporsi bagi hasil seperti pada point (a) tersebut seringkali dilakukan oleh salah satu pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan pihak yang lain. Contoh sehari-hari yang paling mudah dilihat, walaupun tidak semua pemilik tanah berperilaku demikian adalah penentuan proporsi bagi hasil antara pemilik tanah dan petani penggarap. Seringkali karena terdesak kebutuhan, petani penggarap harus menerima proporsi bagi hasil yang sudah ditentukan oleh pemilik tanah pertanian.
Penentuan proporsi bagi hasil secara sepihak juga dapat dilihat pada mekanisme bagi hasil dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sebagaimana yang tercantum pada pasal 5 Keputusan Direksi Perhutani No. 001/KPTS/DIR/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu, proporsi bagi hasil maksimum yang berhak diterima oleh Kelompok Masyarakat Desa Hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan, dan 25% untuk hasil tebangan akhir. Artinya, pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang dikemukakan tersebut diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara, proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal yang bertegakan, sebagaimana tercantum pada Pasal 6 dan 7 dalam keputusan yang sama.
Terdapat 3 pertanyaan evaluatif yang muncul melihat fenomena tersebut diatas. Ketiga pertanyaan tersebut adalah:
a. | Dapatkah proporsi sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002 tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja Perhutani? |
b. | Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses produksi yang sama? |
c. | Apa dasar penentuan munculnya angka 100% (untuk penjarangan pertama) dan maksimum 25% ( untuk penjarangan lanjutan dan tebangan akhir) tersebut? |
Kotak 1 KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI (PERSERO) NOMOR: 001/KPTS/DIR/2002 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU Bagian Kedua |
Argumentasi dan dasar penentuan proporsi bagi hasil seperti yang tercantum pada Keputusan Direksi tersebut mutlak diperlukan untuk menghindari adanya konflik dimasa mendatang. Karena, bagaimanapun seharusnya bagi hasil pendapatan yang diperoleh dalam suatu proses produksi adalah didasarkan pada input share dari para pihak yang berkontribusi pada proses produksi tersebut.
Mekanisme ini sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pada pasal 21 ayat (2) keputusan tersebut dinyatakan bahwa nilai dan proporsi berbagi dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditetapkan sesuai dengan input share dari masing-masing pihak (lihat Kotak 2). Mekanisme ini sebenarnya adalah mekanisme yang lebih tepat diterapkan sebagai dasar proporsi bagi hasil dalam PHBM. Mekanisme ini merupakan pendekatan yang lebih mampu mengakomodasi adanya perbedaan-perbedaan yang dimungkinkan muncul pada berbagai wilayah kerja Perum Perhutani. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan petani di salah satu desa dalam lingkup KPH Kuningan, nilai proporsi bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% masyarakat dan 55% perum Perhutani.
Kotak 2 Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat |
Oleh karena Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 tersebut merupakan salah satu hal yang dimasukkan dalam point ”mengingat” didalam penyusunan Keputusan Direksi PT. Perhutani No 001/KPTS/DIR/2002, seharusnya proporsi bagi hasil yang dimasukkan dalam Keputusan No 001/KPTS/DIR/2002 tersebut haruslah dijiwai oleh keputusan No. 136/KPTS/DIR/2001. Apabila memang yang dimaksud dengan PHBM dalam Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002 tersebut adalah sama dengan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) seperti yang dinyatakan dalam Keputusan No. 136/KPTS/DIR/2001, maka proporsi bagi hasil maksimum 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan , dan 25% untuk tebangan akhir adalah harus direvisi karena pendekatan bagi hasil dalam Keputusan No 136/KPTS/DIR/2001 secara logis adalah lebih tepat. Kalau memang pedoman bagi hasil yang diterapkan dalam PHBM adalah tetap sesuai dengan Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002, berarti PHBM disini adalah berbeda dengan PSDHBM yang dimaksud dalam No. 136/KPTS/DIR/2001. Mungkin saja yang dimaksud dengan PHBM dalam Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002 bukanlah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat akan tetapi Pengelolaan Hutan Biaya Murah....
http://www.infojawa.org/index.php?action=news.detail&cat_id=3&news_id=248&id_sub=0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar