Jumat, 15 Oktober 2010

MEKANISME BAGI HASIL DALAM PHBM : PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT ATAU PENGELOLAAN HUTAN BIAYA MURAH ?

OLEH: AGUS AFFIANTO [1]
Apabila dalam suatu usaha, Saudara berkontribusi modal 2 bagian sedangkan pihak lain 1 bagian, apakah Saudara akan bersedia membagi pendapatan usaha tersebut dengan proporsi yang sama (1:1) dengan pihak lain? Kalau tidak, bagaimana seharusnya mekanisme bagi hasil tersebut?
Pertanyaan tentang proporsi bagi hasil pendapatan mungkin akan selalu muncul ketika ada suatu bentuk usaha bersama yang melibatkan lebih dari 1 pihak dalam pembiayaannya. Dalam hal ini, ada 2 bentuk penentuan prosentase bagi hasil yang bisa dilakukan yaitu :
a. Penentuan proporsi bagi hasil secara intuitif; dan
b. Penentuan proporsi bagi hasil berdasarkan nilai peran masing-masing pihak.

Bentuk penentuan proporsi bagi hasil seperti pada point (a) tersebut seringkali dilakukan oleh salah satu pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan pihak yang lain. Contoh sehari-hari yang paling mudah dilihat, walaupun tidak semua pemilik tanah berperilaku demikian adalah penentuan proporsi bagi hasil antara pemilik tanah dan petani penggarap. Seringkali karena terdesak kebutuhan, petani penggarap harus menerima proporsi bagi hasil yang sudah ditentukan oleh pemilik tanah pertanian.
Penentuan proporsi bagi hasil secara sepihak juga dapat dilihat pada mekanisme bagi hasil dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sebagaimana yang tercantum pada pasal 5 Keputusan Direksi Perhutani No. 001/KPTS/DIR/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu, proporsi bagi hasil maksimum yang berhak diterima oleh Kelompok Masyarakat Desa Hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan, dan 25% untuk hasil tebangan akhir. Artinya, pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang dikemukakan tersebut diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara, proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal yang bertegakan, sebagaimana tercantum pada Pasal 6 dan 7 dalam keputusan yang sama.
Terdapat 3 pertanyaan evaluatif yang muncul melihat fenomena tersebut diatas. Ketiga pertanyaan tersebut adalah:
a. Dapatkah proporsi sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002 tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja Perhutani?
b. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses produksi yang sama?
c. Apa dasar penentuan munculnya angka 100% (untuk penjarangan pertama) dan maksimum 25% ( untuk penjarangan lanjutan dan tebangan akhir) tersebut?
Pertanyaan point (a) tersebut muncul lebih dilatarbelakangi adanya perbedaan karakteristik pada wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja Perhutani di Pulau Jawa yang mencakup Propinsi Banten sampai dengan Jawa Timur tentunya harus dipertimbangkan juga dalam penentuan proporsi bagi hasil tersebut. Bukankah dari sisi Upah Minimum Regional (UMR) saja misalnya, terdapat perbedaan diantara wilayah-wilayah tersebut? Belum lagi bila dihubungkan dengan jenis tanaman, apakah besaran input yang digunakan untuk jenis jati dan non jati adalah sama sehingga proporsi bagi hasilnya juga disamakan? Apabila memang ada perbedaan nilai input diantara wilayah dan jenis tanaman tersebut, tepatkah apabila proporsi bagi hasil PHBM disamakan untuk seluruh wilayah kerja Perhutani dan berbagai jenis tanaman
Kotak 1
KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI (PERSERO)
NOMOR: 001/KPTS/DIR/2002
TENTANG
PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU

Bagian Kedua
Tebangan yang Direncanakan
Pasal 5

Proporsi hak Kelompok Masyarakat Desa Hutan terhadap hasil hutan kayu jati atau kayu selain jati yang perjanjiannya kerjasamanya dilakukan pada kondisi hutan berupa tanah kosong adalah seratus persen dari hasil tebangan penjarangan pertama; sebesar-besarnya dua puluh lima persen dari setiap hasil tebangan penjarangan lanjutan; dan sebesar-besarnya dua puluh lima persen dari hasil tebang habis (Tebangan A)
Munculnya pertanyaan point (b) dan (c) tersebut diatas lebih didasarkan pada pola pikir sederhana saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan penjarangan adalah merupakan serangkaian aktivitas yang merupakan input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan tegakan siap tebang pada umur daur yang dikehendaki. Apabila memang demikian halnya, dapatkah proporsi bagi hasil untuk penjarangan dan tebangan akhir tersebut dibedakan (lihat kotak 1)? Kedua, pengambilan keputusan besarnya proporsi bagi hasil kayu (yang dalam hal ini menyangkut kepentingan masyarakat desa hutan secara keseluruhan) seharusnya didasarkan pada suatu argumentasi yang jelas, dimana hal ini tidak ditemukan dalam SK 001/KPTS/DIR/2002 tersebut.
Argumentasi dan dasar penentuan proporsi bagi hasil seperti yang tercantum pada Keputusan Direksi tersebut mutlak diperlukan untuk menghindari adanya konflik dimasa mendatang. Karena, bagaimanapun seharusnya bagi hasil pendapatan yang diperoleh dalam suatu proses produksi adalah didasarkan pada input share dari para pihak yang berkontribusi pada proses produksi tersebut.
Mekanisme ini sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pada pasal 21 ayat (2) keputusan tersebut dinyatakan bahwa nilai dan proporsi berbagi dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditetapkan sesuai dengan input share dari masing-masing pihak (lihat Kotak 2). Mekanisme ini sebenarnya adalah mekanisme yang lebih tepat diterapkan sebagai dasar proporsi bagi hasil dalam PHBM. Mekanisme ini merupakan pendekatan yang lebih mampu mengakomodasi adanya perbedaan-perbedaan yang dimungkinkan muncul pada berbagai wilayah kerja Perum Perhutani. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan petani di salah satu desa dalam lingkup KPH Kuningan, nilai proporsi bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% masyarakat dan 55% perum Perhutani.
Kotak 2
Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani
No 136/KPTS/DIR/2001
Tentang
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

Pasal 21 ayat (2)
 Nilai dan proporsi berbagi dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditetapkan sesuai dengan nilai proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak (Perusahaan, Masyarakat desa Hutan, Pihak yang Berkepentingan)
Melihat contoh proporsi bagi hasil berdasarkan perhitungan masyarakat tersebut diatas, mungkin akan timbul pertanyaan, ”apakah masyarakat benar-benar dapat mengidentifikasi besaran input pengelolaan yang dikeluarkan oleh perusahaan (dalam hal ini Perum Perhutani)?”. Terlepas dari benar atau tidaknya hasil perhitungan proporsi yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah memiliki dasar perhitungan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Justru disinilah diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk bersama mendiskusikan proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa ”bersama” seperti yang dimaksudkan dalam keputusan No 136/KPTS/DIR/2001.
Oleh karena Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 tersebut merupakan salah satu hal yang dimasukkan dalam point ”mengingat” didalam penyusunan Keputusan Direksi PT. Perhutani No 001/KPTS/DIR/2002, seharusnya proporsi bagi hasil yang dimasukkan dalam Keputusan No 001/KPTS/DIR/2002 tersebut haruslah dijiwai oleh keputusan No. 136/KPTS/DIR/2001. Apabila memang yang dimaksud dengan PHBM dalam Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002 tersebut adalah sama dengan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) seperti yang dinyatakan dalam Keputusan No. 136/KPTS/DIR/2001, maka proporsi bagi hasil maksimum 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan , dan 25% untuk tebangan akhir adalah harus direvisi karena pendekatan bagi hasil dalam Keputusan No 136/KPTS/DIR/2001 secara logis adalah lebih tepat. Kalau memang pedoman bagi hasil yang diterapkan dalam PHBM adalah tetap sesuai dengan Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002, berarti PHBM disini adalah berbeda dengan PSDHBM yang dimaksud dalam No. 136/KPTS/DIR/2001. Mungkin saja yang dimaksud dengan PHBM dalam Keputusan No. 001/KPTS/DIR/2002 bukanlah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat akan tetapi Pengelolaan Hutan Biaya Murah....
   
http://www.infojawa.org/index.php?action=news.detail&cat_id=3&news_id=248&id_sub=0




Tidak ada komentar:

Posting Komentar